Beranda | Artikel
Faedah Sirah Nabi: Tafsir Wahyu Kedua, Surat Al-Mudattsir
Jumat, 25 Mei 2018

 

Dalam pelajaran sirah nabawiyah kali ini, kita kaji tafsir surah Al-Mudattsir yang merupakan wahyu kedua yang turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5) وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ (6) وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ (7)

Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (QS. Al-Mudattsir: 1-7)

Al-Mudattsir sama maknanya dengan Al-Muzammil, yaitu orang yang berselimut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa dipanggil dengan keadaan beliau atau sifatnya. Kadang beliau dipanggil dengan Ya ayyuhal muzammil, Ya ayyuhal mudattsir, Ya ayyuhan nabiyyu, Ya ayyuhar rasul. Ini menunjukkan bagaimanakah kelemahlembutan dari Allah dalam memanggil nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini adalah wahyu kedua yang turun setelah masa fatrah, berhentinya wahyu beberapa waktu.

Awalnya surat ini menerangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk terang-terangan dalam berdakwah.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Diperintah untuk Indzar

قُمْ فَأَنْذِرْ

Bangunlah, lalu berilah peringatan!”, maksudnya bangkitlah dengan penuh semangat lalu berilah peringatan kepada manusia dengan perkataan dan perbuatan untuk menyampaikan maksud.

Maksud memberi peringatan (indzar) di sini adalah memberi peringatan kepada orang kafir, ahli maksiat, dan orang mujrim (yang penuh dosa) agar takut dengan neraka dan siksa Allah.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Diperintah untuk Mengagungkan Allah

وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ

Dan Rabbmu agungkanlah!”, maksudnya adalah agungkanlah dengan mentauhidkan Allah. Dalam mengingatkan lainnya hendaklah diniatkan untuk meraih wajah Allah (ikhlas lillahi Ta’ala). Lalu agungkanlah Allah dengan beribadah kepada-Nya.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Diperintah untuk Membersihkan Amalan dari Berbagai Noda Perusak

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

Dan pakaianmu bersihkanlah!”, yang dimaksud pakaian di sini ada dua makna yaitu (1) amalan seluruhnya; (2) pakaian yang sudah makruf.

Sedangkan pembersihan juga di sini ada dua makna yaitu (1) membersihkan amal dari kebatilan-kebatilan dan berbagai perusak seperti syirik, riya’, kemunafikan, ujub, takabbur (sombong), ghaflah (lalai), dan penyakit lain yang diperintahkan untuk dijauhi dalam ibadah; (2) membersihkan dari berbagai najis pada pakaian, berlaku setiap waktu lebih-lebih saat akan shalat. Ingat bahwa membersihkan najis pada pakaian merupakan syarat shalat menurut kebanyakan ulama.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi mengungkapkan beberapa pendapat mengenai tafsiran ayat ini:

  1. Membersihkan diri dari berbagai maksiat.
  2. Membersihkan pakaian dari najis.
  3. Membersihkan diri dari pekerjaan yang khabits (kotor).
  4. Perintah untuk memperbaiki amalan.
  5. Perintah untuk memperbaiki hati dan niat.

Sa’id bin Jubair mengungkapkan dengan membersihkan hati dan niat. Muhammad bin Ka’ad Al-Qarzhi, juga Al-Hasan Al-Bashri memaksudkan ayat ini dengan mengatakan, “Perbaikilah akhlakmu.” (Lihat At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz’u Tabarak, hlm. 323)

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Diingatkan untuk Meninggalkan Dosa dan Kesyirikan

وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

Dan rujza tinggalkanlah”, yang dimaksud rujza adalah berhala dan awtsan, yaitu segala sesuatu yang disembah selain Allah. Ayat ini maksudnya kita diperintahkan untuk meninggalkannya dan bara’ (berlepas diri) dari perkataan dan amalan yang ada sangkut pautnya dengan penyembahan kepada selain Allah (kesyirikan). Bisa juga maksud rujza adalah amalan kejelekan seluruhnya, termasuk perkataan jelek. Maka perintah yang dimaksud di sini adalah tinggalkanlah dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa yang nampak maupun yang tersembunyi, termasuk juga di sini meninggalkan kesyirikan dan dosa-dosa lainnya.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Diingatkan Jangan Ungkit-Ungkit Pemberian dan Ingin Mendapatkan yang Lebih Banyak

وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ

Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”, maksudnya kita dilarang mengungkit-ungkit pemberian yang telah diberikan kepada orang lain baik yang diberikan adalah nikmat diniyah maupun duniawiyah. Lantas dari pemberian itu ingin memperoleh yang lebih banyak. Yang kita lakukan adalah terus berbuat baik kepada orang lain sesuai dengan kemampuan kita. Adapun meminta balasan, hanyalah meminta kepada Allah.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini di antaranya adalah janganlah memberi suatu pemberian lantas menginginkan ganti lebih banyak. Inilah yang dimaksud dengan riba seperti pada firman Allah,

وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Ruum: 39). Lihat At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz’u Tabarak, hlm. 323.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Diperintahkan untuk Bersabar

وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah”, di sini diperintahkan untuk meraih pahala dengan bersabar. Bersabar di sini dalam tiga bentuk yaitu (1) sabar dalam taat kepada Allah, (2) sabar dalam menjauhi maksiat, (3) sabar dalam menghadapi musibah.

Karena hal-hal di atas benar-benar dijalankan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, pantaslah beliau menjadi ulul ‘azmi dari para Rasul. Shalawatullahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘alaihim ajma’in.

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  1. At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz’u Tabarak fi Sual wa Jawab. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Syaikh Abu ‘Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah;
  2. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Selesai disusun @ Darush Sholihin, 9 Ramadhan 1439 H, bada Ashar

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/17593-faedah-sirah-nabi-tafsir-wahyu-kedua-surat-al-mudattsir.html